PELANGGARAN ETIKA BISNIS YANG SERING DILAKUKAN OLEH PARA PENGUSAHA ATAU
WIRAUSAHAAN
Bisnis modern merupakan
realitas yang sangat kompleks. Hal ini tidak hanya terjadi pada bisnis makro,
namun juga mikro. Banyak faktor yang mempengaruhi dan menentukan kegiatan
berbisnis. Sebagai kegiatan sosial, bisnis dengan banyak cara terjalin dengan kompleksitas
masyarakat modern. Karena bisnis merupakan kegiatan sosial, yang di dalamnya
terlibat banyak orang, bisnis dapat dilihat sekurang-kurangnya dari 3 sudut
pandang berbeda, antara lain: sudut pandang ekonomi, sudut pandang hukum, dan
sudut pandang etika.
Dilihat dari sudut pandang
ekonomis, bisnis adalah kegiatan ekonomis. Hal yang terjadi dalam kegiatan ini
antara lain tukar menukar, jual beli, memproduksi memasarkan, dan kegiatan
lainnya yang bertujuan untuk mencari keuntungan. Namun, perlu diingat pencarian
keuntungan dalam kegiatan berbisnis tidak hanya sepihak, tetapi diadakan dalam
interaksi. Pada kenyataannya, banyak pelaku bisnis di Indonesia tidak
memikirkan tentang hal tersebut. Mereka lebih cenderung untuk mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan kerugian pihak lain. Sebagai
contoh, seseorang yang ingin menjual sepeda motornya kepada seorang pembeli.
Penjual tersebut menjual dengan harga tinggi. Padahal, banyak kekurangan pada
motor tersebut. Namun si penjual tidak mengatakan hal tersebut kepada
pembelinya. Dia tidak peduli dengan kerugian yang akan ditanggung oleh si
pembeli. Yang diinginkan penjual tersebut adalah mendapat banyak keuntungan.
Hal ini hanya ada satu pihak yang diuntungkan, sedangkan yang lain dirugikan.
Dengan tidak mengindahkan
peranan sentral dari sudut pandang ekonomis, perlu ditambahkan juga sudut
pandang moral. Dalam kegiatan berbisnis, mengejar keuntungan adalah hal yang
wajar, asalkan dalam mencapai keuntungan tersebut tidak merugikan banyak pihak.
Jadi, dalam mencapai tujuan dalam kegiatan berbisnis ada batasnya. Kepentingan
dan hak-hak orang lain perlu diperhatikan. Perilaku etis dalam kegiatan
berbisnis adalah sesuatu yang penting demi kelangsungan hidup bisnis itu
sendiri. Bisnis yang tidak etis akan merugikan bisnis itu sendiri terutama jika
dilihat dari perspektif jangka panjang. Bisnis yang baik bukan saja bisnis yang
menguntungkan, tetapi bisnis yang baik adalah selain bisnis tersebut
menguntungkan juga bisnis yang baik secara moral. Perilaku yang baik, juga
dalam konteks bisnis, merupakan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral.
Bisnis juga terikat dengan
hukum. Dalam praktek hukum, banyak masalah timbul dalam hubungan dengan bisnis,
baik pada taraf nasional maupun taraf internasional. Walaupun terdapat hubungan
erat antara norma hukum dan norma etika, namun dua macam hal itu tidak sama.
Ketinggalan hukum, dibandingkan dengan etika, tidak terbatas pada
masalah-masalah baru, misalnya, disebabkan perkembangan teknologi. Pada tahun
1985 di Indonesia terjadi kasus menggemparkan dengan berita dalam media massa
Internasional tentang dibajaknya kaset rekaman yang memuat lagu-lagu artis
kondang dan dibuat untuk tujuan amal. Pada saat itu perbuatan tersebut menurut
hukum yang berlaku di Indonesia masih dimungkinkan, tetapi dari segi etika
tentu tidak dibenarkan karena dua alasan, pertama dengan pembajakan kaset ini,
berarti melanggar hak milik orang lain, kedua pembajakan lebih jelek lagi
karena kaset itu berkaitan dengan maksud amal. Dapat dimengerti bila reaksi di
luar negeri terhadap pembajak Indonesia itu sangat tajam dan emosional.
Tanpa disadari, kasus
pelanggaran etika bisnis merupakan hal yang biasa dan wajar pada masa kini.
Secara tidak sadar, kita sebenarnya menyaksikan banyak pelanggaran etika bisnis
dalam kegiatan berbisnis di Indonesia. Banyak hal yang berhubungan dengan
pelanggaran etika bisnis yang sering dilakukan oleh para pebisnis yang tidak
bertanggung jawab di Indonesia. Berbagai hal tersebut merupakan bentuk dari
persaingan yang tidak sehat oleh para pebisnis yang ingin menguasai pasar.
Selain untuk menguasai pasar, terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi para
pebisnis untuk melakukan pelanggaran etika bisnis, antara lain untuk memperluas
pangsa pasar, serta mendapatkan banyak keuntungan. Ketiga faktor tersebut
merupakan alasan yang umum untuk para pebisnis melakukan pelanggaran etika
dengan berbagai cara.
Etika Bisnis dalam Praktek Bisnis di Indonesia
Pelanggaran etika bisa terjadi
di mana saja, termasuk dalam dunia bisnis. Untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya banyak perusahaan yang menghalalkan segala cara. Praktek
curang ini bukan saja merugikan masyarakat, tapi perusahaan itu sendiri
sebenarnya.
Perilaku etis dalam kegiatan
berbisnis adalah sesuatu yang penting demi kelangsungan hidup bisnis itu
sendiri. Bisnis yang tidak etis akan merugikan bisnis itu sendiri terutama jika
dilihat dari perspektif jangka panjang. Bisnis yang baik bukan saja bisnis yang
menguntungkan, tetapi bisnis yang baik adalah selain bisnis tersebut
menguntungkan juga bisnis yang baik secara moral.
Banyak hal yang berhubungan
dengan pelanggaran etika bisnis yang sering dilakukan oleh para pebisnis yang
tidak bertanggung jawab di Indonesia. Praktek bisnis yang terjadi selama ini
dinilai masih cenderung mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai
praktek-praktek tidak terpuji atau moral hazard.
Pelanggaran etika yang sering
dilakukan oleh pihak swasta, menurut ketua Taufiequrachman Ruki (Ketua
KPK Periode 2003-2007), adalah penyuapan dan pemerasan. Berdasarkan
data Bank Dunia, setiap tahun di seluruh dunia sebanyak US$ 1 triliun (sekitar
Rp 9.000 triliun) dihabiskan untuk suap. Dana itu diyakini telah meningkatkan
biaya operasional perusahaan. (Koran Tempo - 05/08/2006)
Di bidang keuangan, banyak
perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran etika. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Erni Rusyani, terungkap bahwa hampir 61.9% dari 21
perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di BEJ tidak lengkap dalam
menyampaikan laporan keuangannya (not available).
Pelanggaran etika perusahaan
terhadap pelanggannya di Indonesia merupakan fenomena yang sudah sering
terjadi. Contohnya adalah kasus pelezat masakan merek ”A”. Kehalalan “A”
dipersoalkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada akhir Desember 2000 setelah
ditemukan bahwa pengembangan bakteri untuk proses fermentasi tetes tebu (molase),
mengandung bactosoytone (nutrisi untuk pertumbuhan bakteri),
yang merupakan hasil hidrolisa enzim kedelai terhadap biokatalisator porcine yang
berasal dari pankreas babi.
Kasus lainnya, adalah produk
minuman berenergi yang sebagian produknya diduga mengandung nikotin lebih dari
batas yang diizinkan oleh Badan Pengawas Obat dan Minuman. Kita juga masih
ingat, obat anti-nyamuk “H” yang dilarang beredar karena mengandung bahan
berbahaya.
Pada kasus lain, suatu
perusahaan di kawasan di Kalimantan melakukan sayembara untuk memburu hewan
Pongo. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan habitat hewan tersebut untuk
digunakan sebagai lahan perkebunan sawit. Hal ini merupakan masalah bagi
pemerintah dan dunia usaha, dimana suatu usaha dituntut untuk tetap
melestarikan alam berdampingan dengan kegiatan usahanya.
Selain itu, pelanggaran juga
dilakukan oleh suatu perusahaan di kawasan Jawa Barat. Perusahaan tersebut
membuang limbah kawat dengan cara membakar kawat tersebut tersebut. Hal ini
menyebabkan asap hitam pekat yang membuat orang mengalami sesak napas dan
pusing saat menghirupnya. Perusahaan tersebut disinyalir tidak melakukan
penyaringan udara saat pembakaran berlangsung. Hal ini dapat mempengaruhi
kesehatan masyarakat sekitar yang berdekatan dengan lokasi pabrik tersebut.
Contoh kasus :
1. sebuah perusahaan
yang merupakan suplier resmi dari Petronas melakukan kecurangan bisnis dengan
mengoplos solar menjadi minyak tanah dan menjualnya kepada masyaraka. Hal ini
tentu menjelekkan nama baik Petronas. Selain itu hal ini juga menyebabkan
konsumen Petronas tidak percaya lagi dengan produk-produk Petronas
2. saat membeli
buah-buahan. Buah yang sudah dipilih, saat membungkus buah pilihan tersebut
pedagang menukarnya dengan buah-buahan yang tidak baik kualitasnya tanpa
sepengetahuan pembeli. Atau kasus mengurangi timbangan. Alat timbangan
dipasangi benda yang dapat memberatkan timbangan. Hal ini menyebabkan hasil
timbangan akan berkurang.
3. tindakan
pengoplosan bahan baku dalam pembuatan makanan kecil atau makanan ringan. Juga
tindakan pemberian zat-zat berbahaya pada makanan kecil yang dijual. Banyak
tindakan menyimpang yang dilakukan oleh pebisnis, baik kecil maupun besar,
untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda tanpa memikirkan efek negatif
yang akan terjadi. Hal ini pada akhirnya hanya akan memyebabkan kerugian pada
konsumen, juga pada perusahaan itu sendiri. Kepercayaan yang diberikan konsumen
kepada perusahaan tersebut akan hilang, dan hanya akan membuat perusahaan
tersebut kehilangan konsumennya
Kejujuran
adalah asset penting bagi suatu perusahaan untuk melangsungkan kegiatan
berbisnis.Walaupun berbagai kasus tersebut banyak terjadi di Indonesia, namun
tidak semua perusahaan atau pebisnis di Indonesia melakukan pelanggaran etika
dalam kegiatan berbisnis yang dijalankannnya. Masih banyak pebisnis yang
menerapkan etika bisnis dalam kegiatan berbisnis yang dijalankannya. Dalam hal
ini, perusahaan tidak berpikir pada keuntungan jangka pendek. Tidak perlu
melakukan kecurangan pada praktek berbisnis akan memberikan keuntungan jangka
panjang. Hal ini sebenarnya lebih penting bagi para pebisnis daripada
keuntungan yang banyak dalam sekali waktu, dan pada waktu selanjutnya kegiatan
berbisnis harus dihentikan karena berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan
bisnisnya tidak mempercayai lagi.
Bentuk
pelanggaran etika bisnis dalam kegiatan berbisnis di Indonesia
Mempraktekkan bisnis dengan etiket berarti mempraktekkan tata
cara bisnis yang sopan dan santun sehingga kehidupan bisnis menyenangkan karena
saling menghormati. Etiket berbisnis diterapkan pada sikap kehidupan
berkantor, sikap menghadapi rekan-rekan bisnis, dan sikap di mana kita
tergabung dalam organisasi. Itu berupa senyum sebagai apresiasi yang tulus dan
terima kasih, tidak menyalahgunakan kedudukan dan kekayaan, tidak lekas
tersinggung, kontrol diri, toleran, dan tidak memotong pembicaraan orang lain.
Dengan kata lain, etiket bisnis itu memelihara suasana yang
menyenangkan, menimbulkan rasa saling menghargai, meningkatkan efisiensi kerja,
dan meningkatkan citra pribadi dan perusahaan. Berbisnis dengan etika bisnis
adalah menerapkan aturan-aturan umum mengenai etika pada perilaku bisnis. Etika
bisnis menyangkut moral, kontak sosial, hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip
dan aturan-aturan
Jika aturan secara umum mengenai etika mengatakan bahwa berlaku
tidak jujur adalah tidak bermoral dan beretika, maka setiap insan bisnis yang
tidak berlaku jujur dengan pegawainya, pelanggan, kreditur, pemegang usaha
maupun pesaing dan masyarakat, maka ia dikatakan tidak etis dan tidak bermoral
Berikut adalah
bentuk-bentuk pelanggaran etika bisnis dan contoh pelanggaran etika dalam
kegiatan bisnis di Indonesia :
a. Pelanggaran etika
bisnis terhadap hukum
Contoh
pelanggaran tersebut seperti sebuah perusahaan X karena kondisi perusahaan yang
pailit akhirnya memutuskan untuk melakukan PHK kepada karyawannya. Namun dalam
melakukan PHK itu, perusahaan sama sekali tidak memberikan pesangon sebagaimana
yang diatur dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam kasus ini perusahaan
X dapat dikatakan melanggar prinsip kepatuhan terhadap hukum.
b. Pelanggaran etika
bisnis terhadap transparansi
Sebuah
Yayasan X menyelenggarakan pendidikan setingkat SMA. Pada tahun ajaran
baru sekolah mengenakan biaya sebesar Rp 500.000,- kepada setiap siswa baru.
Pungutan sekolah ini sama sekali tidak diinformasikan kepada mereka saat akan
mendaftar, sehingga setelah diterima mau tidak mau mereka harus membayar.
Disamping itu tidak ada informasi maupun penjelasan resmi tentang penggunaan
uang itu kepada wali murid. Setelah didesak oleh banyak pihak, yayasan baru
memberikan informasi bahwa uang itu dipergunakan untuk pembelian seragam guru.
Dalam kasus ini, pihak yayasan dan sekolah dapat dikategorikan melanggar
prinsip transparansi.
c. Pelanggaran etika
bisnis terhadap akuntabilitas
Sebuah
RS Swasta melalui pihak Pengurus mengumumkan kepada seluruh karyawan yang akan
mendaftar PNS secara otomotis dinyatakan mengundurkan diri. A sebagai salah
seorang karyawan di RS Swasta itu mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus
karena menurut pendapatnya ia diangkat oleh Pengelola, dalam hal ini direktur,
sehingga segala hak dan kewajiban dia berhubungan dengan Pengelola bukan
Pengurus. Pihak Pengelola sendiri tidak memberikan surat edaran resmi mengenai
kebijakan tersebut. Karena sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan
diri. Dari kasus ini RS Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip.
akuntabilitas karena tidak ada kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban
antara Pengelola dan Pengurus Rumah Sakit.
d. Pelanggaran etika
bisnis terhadap prinsip pertanggungjawaban
Sebuah
perusahaan PJTKI di Yogyakarta melakukan rekrutmen untuk tenaga baby
sitter. Dalam pengumuman dan perjanjian dinyatakan bahwa perusahaan
berjanji akan mengirimkan calon TKI setelah 2 bulan mengikuti training
dijanjikan akan dikirim ke negara-negara tujuan. Bahkan perusahaan tersebut
menjanjikan bahwa segala biaya yang dikeluarkan pelamar akan dikembalikan jika
mereka tidak jadi berangkat ke negara tujuan. B yang tertarik dengan tawaran
tersebut langsung mendaftar dan mengeluarkan biaya sebanyak Rp 7 juta untuk
ongkos administrasi dan pengurusan visa dan paspor. Namun setelah 2 bulan
training, B tak kunjung diberangkatkan, bahkan hingga satu tahun tidak ada
kejelasan. Ketika dikonfirmasi, perusahaan PJTKI itu selalu berkilah ada
penundaan, begitu seterusnya. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa Perusahaan
PJTKI tersebut telah melanggar prinsip pertanggungjawaban dengan mengabaikan
hak-hak B sebagai calon TKI yang seharusnya diberangkatkan ke negara lain
tujuan untuk bekerja.
e. Pelanggaran etika
bisnis terhadap prinsip kewajaran
Sebuah
perusahaan properti ternama di Yogjakarta tidak memberikan surat ijin membangun
rumah dari developer kepada dua orang konsumennya di kawasan
kavling perumahan milik perusahaan tersebut. Konsumen pertama sudah memenuhi
kewajibannya membayar harga tanah sesuai kesepakatan dan biaya administrasi
lainnya. Sementara konsumen kedua masih mempunyai kewajiban membayar kelebihan
tanah, karena setiap kali akan membayar pihak developer selalu
menolak dengan alasan belum ada ijin dari pusat perusahaan (pusatnya di
Jakarta). Yang aneh adalah di kawasan kavling itu hanya dua orang ini yang
belum mengantongi izin pembangunan rumah, sementara 30 konsumen lainnya sudah
diberi izin dan rumah mereka sudah dibangun semuannya. Alasan yang dikemukakan
perusahaan itu adalah ingin memberikan pelajaran kepada dua konsumen tadi
karena dua orang ini telah memprovokasi konsumen lainnya untuk melakukan
penuntutan segera pemberian izin pembangunan rumah. Dari kasus ini perusahaan
properti tersebut telah melanggar prinsip kewajaran (fairness) karena
tidak memenuhi hak-hak stakeholder (konsumen) dengan alasan
yang tidak masuk akal.
f. Pelanggaran etika
bisnis terhadap prinsip kejujuran
Sebuah
perusahaan pengembang di Sleman membuat kesepakatan dengan sebuah perusahaan
kontraktor untuk membangun sebuah perumahan. Sesuai dengan kesepakatan pihak
pengembang memberikan spesifikasi bangunan kepada kontraktor. Namun dalam
pelaksanaannya, perusahaan kontraktor melakukan penurunan kualitas spesifikasi
bangunan tanpa sepengetahuan perusahaan pengembang. Selang beberapa bulan
kondisi bangunan sudah mengalami kerusakan serius. Dalam kasus ini pihak
perusahaan kontraktor dapat dikatakan telah melanggar prinsip kejujuran karena
tidak memenuhi spesifikasi bangunan yang telah disepakati bersama dengan
perusahaan pengembang.
g. Pelanggaran etika
bisnis terhadap prinsip empati
Seorang
nasabah X dari perusahaan pembiayaan terlambat membayar angsuran mobil sesuai
tanggal jatuh tempo karena anaknya sakit parah. X sudah memberitahukan kepada
pihak perusahaan tentang keterlambatannya membayar angsuran, namun tidak
mendapatkan respon dari perusahaan. Beberapa minggu setelah jatuh tempo pihak
perusahaan langsung mendatangi X untuk menagih angsuran dan mengancam akan
mengambil mobil yang masih diangsur itu. Pihak perusahaan menagih dengan cara
yang tidak sopan dan melakukan tekanan psikologis kepada nasabah. Dalam kasus
ini kita dapat mengkategorikan pihak perusahaan telah melakukan pelanggaran
prinsip empati pada nasabah karena sebenarnya pihak perusahaan dapat memberikan
peringatan kepada nasabah itu dengan cara yang bijak dan tepat.