ANTI MONOPOLI DAN NEGARA YANG MENERAPKANNYA
Kompetisi yang sehat dalam kegiatan ekonomi negara
harus diikuti kebijakan liberalisasi, deregulasi dan privatisasi badan usaha
yang tidak sehat atau failit (bangkrut). Upaya ini dilakukan untuk
mengantisipasi pasar bebas agar kebijakan publik di bidang ekonomi yang
merugikan kegiatan bisnis dapat dihilangkan. Akibat persaingan usaha, pengusaha
dalam kegiatan bisnis melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat bahkan melampaui batas-batas negara dengan melanggar perdagangan dunia.
Pada era globalisasi ekonomi, kesepakatan bisnis mengubah bentuk perdagangan
dunia dalam waktu singkat menjadi perkampungan global (global village).
Kesepakatan ini merugikan kepentingan negara-negara berkembang dan
negara-negara miskin yang tidak siap menghadapi perubahan ekonomi dunia pasca
dibentuknya WTO.
Globalisasi adalah upaya menciptakan iklim usaha yang
kondusif bagi persaingan usaha dalam dua hal. Pertama, perdagangan antar negara
menumbuhkan investasi dan produksi melewati batas-batas negara. Kegiatan yang
berimplikasi persaingan, seperti praktik cross border pricing, hambatan masuk
(barrier entry) dan pengambilalihan usaha dalam ekonomi baru bertambah. Kedua,
pemerintah negara-negara berkembang khawatir terhadap kemampuan pengusaha
nasional sehingga berusaha menciptakan lingkungan usaha yang sehat dan
memungkinkan produk domestik oleh pengusaha mampu bersaing dengan manufaktur
barang impor di dalam negeri dan sebagai eksportir masuk ke pasar luar negeri
dalam rangka perdagangan dan pasar bebas.
Kebijakan persaingan usaha bermaksud untuk mencapai
tujuan tertentu dalam kegiatan bisnis. Akan tetapi kebijakan ini berlawanan
dengan kepentingan dunia usaha memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya,
karena kebijakan persaingan usaha yaitu menambah kesejahteraan atau kepuasan
konsumen dengan menyediakan pilihan produk baru dan menciptakan harga bersaing
di antara produk tersedia untuk kebutuhan barang konsumsi sehari-hari. Selain
itu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik dan memperbaiki alokasi
efisiensi dalam kaitan sumber alam yang terbatas, memperbaiki kemampuan
domestik untuk berpartisipasi pada pasar global, dan mendorong kesempatan sama
‘dunia usaha’ melalui kegiatan ekonomi yang sehat.
UU Antimonopoli, antara harapan & kenyataan
Apakah UU
No 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
(UU Antimnopoli) yang disahkan dan diundangkan tanggal 5 Maret 1999 itu sudah
sesuai dengan harapan? Bagaimanakah penerapan UU tersebut? Adakah berjalan
mulus ataukah justeru terjadi banyak distorsi dan kelemahan di sana-sini?
Memasuki
tahun kelima (sejak diundangkan) UU Antimonopoli, ada baiknya kita
mengkritisi bagaimana UU tersebut dilaksanakan, apa saja yang menjadi
kelemahannya dan apa solusi yang harus dilakukan.
Dibuatnya
UU No. 5/1999 sebenarnya mempunyai tujuan yang mulia seperti disebutkan dalam
Pasal 3 UU ini. Yaitu, pertama, menjaga kepentingan umum dan meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
Kedua,
mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persiangan usaha yang
sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi
pelaku usaha besar, pelaku UKM.
Ketiga,
mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha. Dan keempat, terciptanya efektivitas dan
efisiensi dalam kegiatan usaha.
Lahirnya
UU No 5/1999 sebenarnya didorong oleh suatu fakta bahwa awal terjadinya
krisis ekonomi berkepanjangan di negeri ini karena di masa Orba praktik
monopoli demikian merajalela.
Kekuasaan
ekonomi hanya dikuasai oleh segelintir orang dan pengusaha saja. Akibatnya
ekonomi negeri ini keropos dan puncaknya adalah kejatuhan rezim Orba di tahun
1998.
Dari
situlah muncul desakan agar UU Antimonopoli segera dibuat, dan pada masa
pemerintahan BJ Habibie gagasan tersebut dikonkretkan. Persoalannya, apakah
UU No 5 itu dijalankan secara konsekuen dan konsisten?
Seperti
diketahui, untuk mengawasi pelaksanaan UU No 5 ini maka dibentuklah Kompisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)/ Supervisory Commission for Bussiness
Competition. Lembaga yang dibentuk berdasarkan UU No 5/1999 dan
bertanggungjawab kepada Presiden RI ini diharapkan bersifat independen dan
impartial.
Artinya,
lembaga ini benar-benar professional, netral dan tidak terpengaruh oleh
kekuasaan mana pun, baik eksekutif, legislative, yudikatif, pengaruh dari
kalangan dunia usaha dan kekuatan politik. Karena itulah KPPU dipimpin dan
terdiri dari orang-orang pilihan yang memiliki kepampuan professional di
bidang persaingan sehat ini dan mereka harus independen.
Tak mudah
Tapi tugas
KPPU memang tidak mudah. Selain masalah aspek hukum masalah antimonopoli ini
merupakan perkara baru sehingga belum terlalu banyak yang mengetahui,
termasuk juga dari kalangan penegak hukum sendiri, seperti para hakim ataupun
advokat.
Karenanya,
tidak sedikit diadakan pelatihan mengenai masalah ini termasuk juga undangan
dari berbagai negara untuk melakukan studi banding bagaimana UU Antimonopoli
yang mereka miliki serta bagaimana penerapannya. Beberapa negara yang banyak
kita jadikan referensi diantaranya adalah Jerman, Amerika atau Jepang.
Di
negara-negara maju seperti Jerman, Amerika, atau Jepang penerapan UU
Antimonopoli juga bukan perkara mudah. Banyak kendala yang mereka hadapi. Di
Jepang, umpamanya, baru 50 tahun setelah mereka memiliki UU Antimonopoli,
Supervisory Commission for Bussiness Competition yang mereka miliki baru
berjalan efektif.
Tetapi
upaya terus menyempurnakan pelaksanaan UU Antimonopoli terus mereka lakukan
sampai saat ini. Sungguhpun demikian, kita belum jelas akan menganut sistem
yang mana: ala Amerika, Jerman, atau Jepang?
Nah, di
negeri kita selain UU Antimonopoli masih baru namun juga masih banyak
mengandung kelemahan. Misalnya saja sampai detik ini belum dibentuk Peraturan
Pemerintah (PP) tentang Merger berdasarkan UU No 5/1999.
Mengapa?
Karena berdasarkan Pasal 28 ayat 3 dan Pasal 29 ayat 2 UU No 5/1999 harus
dibentuk PP tentang Merger. Didalam PP itulah nanti akan diatur bagaimana
prosedur merger agar tidak menyalahi ketentuan UU Antimonopoli. Ambil contoh,
bagaimana agar sebuah perusahaan baterai A yang akan merger dengan perusahaan
baterai B sehingga menjadi perusahaan C, tidak melakukan monopoli sehingga
merugikan perusahaan baterai D.
PP itu
harus juga mengatur berapa asset value dan atau sale value yang harus
dilaporkan ke KPPU.
Peraturan
pelaksana dari UU No 5/1999 tersebut merupakan suatu keharusan karena
diamanatkan UU. Sama saja dengan PP tentang Merger yang diamanatkan dalam
Pasal 102-109 UU No 1/1995 tentang Perseroan Terbatas .
Dalam PP
merger berdasarkan UU No.1/1995 diatur misalnya bahwa rencana merger harus
disetujui RUPS, masing-masing shareholder harus hadir sekurang-kurangnya ?
dari seluruh share (Pasal 76) dan sebagainya. Semuanya diatur dalam PP itu.
Beberapa
keputusan internal KPPU maupun Peraturan MA No 1/2003 sudah dibentuk, akan
tetapi PP tentang Merger berdasarkan UU No 5/1999 belum juga lahir. Inilah
yang menyebabkan Pasal 28 dan 29 UU No 5/1999 menjadi "lex
imperfecta".
Artinya
pasal-pasal tersebut menjadi mandul dan tidak dapat diterapkan karena belum
ada PP-nya. Sementara itu kita menganut azas "non retroactive
principle", artinya PP tentang Merger tidak dapat berlaku surut terhadap
merger yang telah dilakukan sebelum adanya PP tersebut. Artinya kalau bulan
ini ada merger perusahaan baterai A dan perusahaan baterai B dan menjadi perusahaan
baru yakni perusahaan C, maka PP tentang Merger yang -katakanlah-dibuat tahun
2005, maka PP tersebut tidak berlaku terhadap perusahaan C tersebut.
Inilah
salah satu kelemahan dan kerugian sebab kita belum memiliki PP itu.
Permasalahnnya sekarang, bagaimana agar kita terus berusaha menyempurnakan UU
No 5/1999, meningkatkan profesionalitas, membenahi segala peraturan
pelaksanaannya dan memaksimalkan penerapan UU ini.
Oleh T.M.
Luthfi Yazid
Managing Partner John & Luthfi Law Firm dan alumnus The School of Law, University of Warwick Inggris |
i perusahaan
C, maka PP tentang Merger yang -katakanlah-dibuat tahun 2005, maka PP tersebut
tidak berlaku terhadap perusahaan C tersebut.
Inilah salah
satu kelemahan dan kerugian sebab kita belum memiliki PP itu. Permasalahnnya
sekarang, bagaimana agar kita terus berusaha menyempurnakan UU No 5/1999,
meningkatkan profesionalitas, membenahi segala peraturan pelaksanaannya dan
memaksimalkan penerapan UU ini.
Oleh T.M.
Luthfi Yazid
Managing Partner John & Luthfi Law Firm dan alumnus The School of Law, University of Warwick Inggris
sumber :
https://dhonyaditya.wordpress.com/2012/05/11/anti-monopoli-dan-persaingan- usaha-tidak-sehat/
http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F2402/UU%20Antimonopoli-BI.htm
Managing Partner John & Luthfi Law Firm dan alumnus The School of Law, University of Warwick Inggris
sumber :
https://dhonyaditya.wordpress.com/2012/05/11/anti-monopoli-dan-persaingan- usaha-tidak-sehat/
http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F2402/UU%20Antimonopoli-BI.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar