GUNADARMA

GUNADARMA
Universitas Gunadarma

Selasa, 01 Mei 2018

ANTI MONOPOLI DAN NEGARA YANG MENERAPKANNYA


ANTI MONOPOLI DAN NEGARA YANG MENERAPKANNYA


Kompetisi yang sehat dalam kegiatan ekonomi negara harus diikuti kebijakan liberalisasi, deregulasi dan privatisasi badan usaha yang tidak sehat atau failit (bangkrut). Upaya ini dilakukan untuk mengantisipasi pasar bebas agar kebijakan publik di bidang ekonomi yang merugikan kegiatan bisnis dapat dihilangkan. Akibat persaingan usaha, pengusaha dalam kegiatan bisnis melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat bahkan melampaui batas-batas negara dengan melanggar perdagangan dunia. Pada era globalisasi ekonomi, kesepakatan bisnis mengubah bentuk perdagangan dunia dalam waktu singkat menjadi perkampungan global (global village). Kesepakatan ini merugikan kepentingan negara-negara berkembang dan negara-negara miskin yang tidak siap menghadapi perubahan ekonomi dunia pasca dibentuknya WTO.

Globalisasi adalah upaya menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi persaingan usaha dalam dua hal. Pertama, perdagangan antar negara menumbuhkan investasi dan produksi melewati batas-batas negara. Kegiatan yang berimplikasi persaingan, seperti praktik cross border pricing, hambatan masuk (barrier entry) dan pengambilalihan usaha dalam ekonomi baru bertambah. Kedua, pemerintah negara-negara berkembang khawatir terhadap kemampuan pengusaha nasional sehingga berusaha menciptakan lingkungan usaha yang sehat dan memungkinkan produk domestik oleh pengusaha mampu bersaing dengan manufaktur barang impor di dalam negeri dan sebagai eksportir masuk ke pasar luar negeri dalam rangka perdagangan dan pasar bebas.

Kebijakan persaingan usaha bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu dalam kegiatan bisnis. Akan tetapi kebijakan ini berlawanan dengan kepentingan dunia usaha memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, karena kebijakan persaingan usaha yaitu menambah kesejahteraan atau kepuasan konsumen dengan menyediakan pilihan produk baru dan menciptakan harga bersaing di antara produk tersedia untuk kebutuhan barang konsumsi sehari-hari. Selain itu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik dan memperbaiki alokasi efisiensi dalam kaitan sumber alam yang terbatas, memperbaiki kemampuan domestik untuk berpartisipasi pada pasar global, dan mendorong kesempatan sama ‘dunia usaha’ melalui kegiatan ekonomi yang sehat.

UU Antimonopoli, antara harapan & kenyataan
Apakah UU No 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimnopoli) yang disahkan dan diundangkan tanggal 5 Maret 1999 itu sudah sesuai dengan harapan? Bagaimanakah penerapan UU tersebut? Adakah berjalan mulus ataukah justeru terjadi banyak distorsi dan kelemahan di sana-sini?
Memasuki tahun kelima (sejak diundangkan) UU Antimonopoli, ada baiknya kita mengkritisi bagaimana UU tersebut dilaksanakan, apa saja yang menjadi kelemahannya dan apa solusi yang harus dilakukan.
Dibuatnya UU No. 5/1999 sebenarnya mempunyai tujuan yang mulia seperti disebutkan dalam Pasal 3 UU ini. Yaitu, pertama, menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kedua, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persiangan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku UKM.
Ketiga, mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha. Dan keempat, terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Lahirnya UU No 5/1999 sebenarnya didorong oleh suatu fakta bahwa awal terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan di negeri ini karena di masa Orba praktik monopoli demikian merajalela.
Kekuasaan ekonomi hanya dikuasai oleh segelintir orang dan pengusaha saja. Akibatnya ekonomi negeri ini keropos dan puncaknya adalah kejatuhan rezim Orba di tahun 1998.
Dari situlah muncul desakan agar UU Antimonopoli segera dibuat, dan pada masa pemerintahan BJ Habibie gagasan tersebut dikonkretkan. Persoalannya, apakah UU No 5 itu dijalankan secara konsekuen dan konsisten?
Seperti diketahui, untuk mengawasi pelaksanaan UU No 5 ini maka dibentuklah Kompisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)/ Supervisory Commission for Bussiness Competition. Lembaga yang dibentuk berdasarkan UU No 5/1999 dan bertanggungjawab kepada Presiden RI ini diharapkan bersifat independen dan impartial.
Artinya, lembaga ini benar-benar professional, netral dan tidak terpengaruh oleh kekuasaan mana pun, baik eksekutif, legislative, yudikatif, pengaruh dari kalangan dunia usaha dan kekuatan politik. Karena itulah KPPU dipimpin dan terdiri dari orang-orang pilihan yang memiliki kepampuan professional di bidang persaingan sehat ini dan mereka harus independen.
Tak mudah
Tapi tugas KPPU memang tidak mudah. Selain masalah aspek hukum masalah antimonopoli ini merupakan perkara baru sehingga belum terlalu banyak yang mengetahui, termasuk juga dari kalangan penegak hukum sendiri, seperti para hakim ataupun advokat.
Karenanya, tidak sedikit diadakan pelatihan mengenai masalah ini termasuk juga undangan dari berbagai negara untuk melakukan studi banding bagaimana UU Antimonopoli yang mereka miliki serta bagaimana penerapannya. Beberapa negara yang banyak kita jadikan referensi diantaranya adalah Jerman, Amerika atau Jepang.
Di negara-negara maju seperti Jerman, Amerika, atau Jepang penerapan UU Antimonopoli juga bukan perkara mudah. Banyak kendala yang mereka hadapi. Di Jepang, umpamanya, baru 50 tahun setelah mereka memiliki UU Antimonopoli, Supervisory Commission for Bussiness Competition yang mereka miliki baru berjalan efektif.
Tetapi upaya terus menyempurnakan pelaksanaan UU Antimonopoli terus mereka lakukan sampai saat ini. Sungguhpun demikian, kita belum jelas akan menganut sistem yang mana: ala Amerika, Jerman, atau Jepang?
Nah, di negeri kita selain UU Antimonopoli masih baru namun juga masih banyak mengandung kelemahan. Misalnya saja sampai detik ini belum dibentuk Peraturan Pemerintah (PP) tentang Merger berdasarkan UU No 5/1999.
Mengapa? Karena berdasarkan Pasal 28 ayat 3 dan Pasal 29 ayat 2 UU No 5/1999 harus dibentuk PP tentang Merger. Didalam PP itulah nanti akan diatur bagaimana prosedur merger agar tidak menyalahi ketentuan UU Antimonopoli. Ambil contoh, bagaimana agar sebuah perusahaan baterai A yang akan merger dengan perusahaan baterai B sehingga menjadi perusahaan C, tidak melakukan monopoli sehingga merugikan perusahaan baterai D.
PP itu harus juga mengatur berapa asset value dan atau sale value yang harus dilaporkan ke KPPU.
Peraturan pelaksana dari UU No 5/1999 tersebut merupakan suatu keharusan karena diamanatkan UU. Sama saja dengan PP tentang Merger yang diamanatkan dalam Pasal 102-109 UU No 1/1995 tentang Perseroan Terbatas .
Dalam PP merger berdasarkan UU No.1/1995 diatur misalnya bahwa rencana merger harus disetujui RUPS, masing-masing shareholder harus hadir sekurang-kurangnya ? dari seluruh share (Pasal 76) dan sebagainya. Semuanya diatur dalam PP itu.
Beberapa keputusan internal KPPU maupun Peraturan MA No 1/2003 sudah dibentuk, akan tetapi PP tentang Merger berdasarkan UU No 5/1999 belum juga lahir. Inilah yang menyebabkan Pasal 28 dan 29 UU No 5/1999 menjadi "lex imperfecta".
Artinya pasal-pasal tersebut menjadi mandul dan tidak dapat diterapkan karena belum ada PP-nya. Sementara itu kita menganut azas "non retroactive principle", artinya PP tentang Merger tidak dapat berlaku surut terhadap merger yang telah dilakukan sebelum adanya PP tersebut. Artinya kalau bulan ini ada merger perusahaan baterai A dan perusahaan baterai B dan menjadi perusahaan baru yakni perusahaan C, maka PP tentang Merger yang -katakanlah-dibuat tahun 2005, maka PP tersebut tidak berlaku terhadap perusahaan C tersebut.
Inilah salah satu kelemahan dan kerugian sebab kita belum memiliki PP itu. Permasalahnnya sekarang, bagaimana agar kita terus berusaha menyempurnakan UU No 5/1999, meningkatkan profesionalitas, membenahi segala peraturan pelaksanaannya dan memaksimalkan penerapan UU ini.
Oleh T.M. Luthfi Yazid
Managing Partner John & Luthfi Law Firm dan alumnus The School of Law, University of Warwick Inggris

i perusahaan C, maka PP tentang Merger yang -katakanlah-dibuat tahun 2005, maka PP tersebut tidak berlaku terhadap perusahaan C tersebut.
Inilah salah satu kelemahan dan kerugian sebab kita belum memiliki PP itu. Permasalahnnya sekarang, bagaimana agar kita terus berusaha menyempurnakan UU No 5/1999, meningkatkan profesionalitas, membenahi segala peraturan pelaksanaannya dan memaksimalkan penerapan UU ini.
Oleh T.M. Luthfi Yazid
Managing Partner John & Luthfi Law Firm dan alumnus The School of Law, University of Warwick Inggris


sumber : 
https://dhonyaditya.wordpress.com/2012/05/11/anti-monopoli-dan-persaingan-  usaha-tidak-sehat/
http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F2402/UU%20Antimonopoli-BI.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar