Apa itu konsumen?
Konsumen secara harfiah
memiliki arti, orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau
menggunakan jasa tertentu, atau sesuatu atau sese orang yangmenggunakan suatu
persediaan atau sejumlah barang. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen mendefinisikan konsumen sebagai setiap orang pemakai
barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Berdasarkan dari pengertian tersebut, yang dimaksud konsumen
orang yang berststus sebagai pemakai barang dan jasa.
Perlindungan Konsumen
Berdasarkan UU no.8 Pasal 1 Butir 1 Tahun
1999, tentang perlindungan konsumen disebutkan bahwa “Perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak
konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar
pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan hak
konsumen.Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum
lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa
menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar
oleh pelaku usaha.
Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya
kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari
”benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala
kebutuhan diantara keduanya”. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya
berdasarkab atas hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan
pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau
membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia
kebutuhan konsumen.
Di bidang perindustrian dan perdagangan
nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang
dapat dikonsumsi.Di samping itu, globalisasi dan perdagangan
bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika
telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi
batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan
bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang
demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan
konsumen akan barang dan/atau jasayang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin
terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau
jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsum Di sisi lain, kondisi dan
fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan
konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah.
Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang
sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta
penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran
konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya
pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen
dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan
konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.
Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran
pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat
kentungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini
sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan diatas, perlu upaya pemberdayaan
konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan
konsumen secara integrative dan komprehensif serta dapat diterapkan secara
efektif di masyarakat.
Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan
usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat
mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang
tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa
yang berkualitas.
Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam
pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan
menengah. Hal ini dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas
pelanggarannya.
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu
pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk
pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam
rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah
kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi
negara Undang-Undang Dasar 1945.
Disamping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya
bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan
konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan
Konsume ini telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan
konsumen, seperti:
·
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi
Undang-undang;
·
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
·
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah;
·
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
·
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
·
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
·
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
·
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri
·
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
·
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World
Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
·
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
·
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
·
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
·
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Hak
Cipta sebagai mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987;
·
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten;
·
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek;
·
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
·
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran;
·
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;
·
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan
intelektual (HAKI) tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan
Konsumen ini karena sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997
tentang Hak Cipta, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Paten, dan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek, yang melarang menghasilkan
atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang melanggar ketentuan tentang
HAKI.
Demikian juga perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup tidak diatur
dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena telah diatur dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai
kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup
serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Di kemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang- undang baru
yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dengan
demikian, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan paying yang
mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan
konsumen.
Contoh permasalahan dan solusi pada perlindungan konsumen
Masalah Perlindungan Konsumen
yang Dihadapi BPSK
Jakarta - Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam melindungi konsumen mengalami
kendala, terutama ketika pelaku usaha mengabaikan panggilan BPSK. Menurut pakar
hukum perdata Susanti Adi Nugroho, ada lima masalah terkait UU yang menjadi
tempat BPSK berpijak.
\\\"Baik UU No 8 Tahun 1999 dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 350\/MPP Kep\/12\/2001 tidak cukup memberikan kejelasan yang dibutuhkan untuk implementasi di lapangan,\\\" kata Susanti.
Susanti menyampaikan hal ini dalam acara Focus Group Discussion Penyempurnaan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No 350\/MPP\/12\/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK di Hotel Alila, Jalan Pecenongan, Jakarta Pusat, Selasa (17\/12\/2013).
Turut hadir dalam acara ini konsultan hukum perlindungan konsumen Kementerian Perdagangan Aman Sinaga. Aman sebelumnya menyatakan para pelaku usaha kerap mengabaikan upaya BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen, sehingga laporan kerugian yang dialami konsumen selalu berakhir di meja hijau.
Oleh karena itu, Susanti merumuskan lima masalah di dalam tugas BPSK. Ke lima masalah itu adalah ketentuan peraturan dan perundangan yang multi tafsir, tidak ada pasal yang konsisten, pertentangan antara pasal yang satu dengan yang lainnya, konflik peraturan perundangan arbitrase, dan tidak adanya kejelasan peran penyidik.
Secara umum, Susanti menyatakan banyak kelemahan dalam UU yang mengatur tugas pokok dan fungsi BPSK. Sehingga ia meminta adanya revisi UU terutama keputusan menteri tersebut agar BPSK dapat bekerja optimal.
\\\"Dalam praktik, tidak ada petunjuk teknis bagi penyidik untuk melaksanakan upaya paksa. Pelaku usaha yang tidak mau hadir maka putusannya dapat dilakukan tanpa dihadiri pihak pelaku usaha, berlaku sebaliknya untuk konsumen,\\\" ujar mantan hakim agung ini.
\\\"Baik UU No 8 Tahun 1999 dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 350\/MPP Kep\/12\/2001 tidak cukup memberikan kejelasan yang dibutuhkan untuk implementasi di lapangan,\\\" kata Susanti.
Susanti menyampaikan hal ini dalam acara Focus Group Discussion Penyempurnaan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No 350\/MPP\/12\/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK di Hotel Alila, Jalan Pecenongan, Jakarta Pusat, Selasa (17\/12\/2013).
Turut hadir dalam acara ini konsultan hukum perlindungan konsumen Kementerian Perdagangan Aman Sinaga. Aman sebelumnya menyatakan para pelaku usaha kerap mengabaikan upaya BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen, sehingga laporan kerugian yang dialami konsumen selalu berakhir di meja hijau.
Oleh karena itu, Susanti merumuskan lima masalah di dalam tugas BPSK. Ke lima masalah itu adalah ketentuan peraturan dan perundangan yang multi tafsir, tidak ada pasal yang konsisten, pertentangan antara pasal yang satu dengan yang lainnya, konflik peraturan perundangan arbitrase, dan tidak adanya kejelasan peran penyidik.
Secara umum, Susanti menyatakan banyak kelemahan dalam UU yang mengatur tugas pokok dan fungsi BPSK. Sehingga ia meminta adanya revisi UU terutama keputusan menteri tersebut agar BPSK dapat bekerja optimal.
\\\"Dalam praktik, tidak ada petunjuk teknis bagi penyidik untuk melaksanakan upaya paksa. Pelaku usaha yang tidak mau hadir maka putusannya dapat dilakukan tanpa dihadiri pihak pelaku usaha, berlaku sebaliknya untuk konsumen,\\\" ujar mantan hakim agung ini.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar